Arsitektur Dwijendra awalnya dikenal sebagai Sekolah Tinggi Arsitektur Tradisional Bali, pada tahun 1981. Selanjutnya tahun 1982 ditingkatkan menjadi Universitas Dwijendra dalam bentuk Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur.
Untuk ketiga kalinya pada tahun 2012 memperoleh status terakreditasi sesuai dengan Surat Keputusan Ban-PT no: 032/BAN-PT/Ak-XV/S1/X/2012 Tentang Penetapan Status Terakreditasi.


Jumat, 24 Juli 2009

SEBAGIAN KECIL ”DISKUSI ARSITEKTUR” DALAM PKB KE 31


PROLOG
Seorang arsitek muda yang cantik bertanya: apa pendapat sipembicara (ketika acara diskusi arsitektur dibawakan oleh para arsitek-arsitek yang mempresentasikan karya-karya mereka) tentang atap datar/flat untuk bangunan-bangunan yang dibangun di Bali? Disini, jelas yang ditanyakan adalah dua hal yang berbeda, satu hal mengenai teori apa arsitektur itu? Dilain hal mengenai bagaimana kalau membangun .... ?
Mengikuti pola pikiran Josef Priyotomo, dimana beliau memisahkan diskusi arsitektur, satu sisi diskusi ditekankan pada masalah ”apa dan siapa” yang disebut dengan Pengertian arsitektur, sedangkan diskusi lainnya ditekankan pada masalah ”bagaimana” membangun yang disebut Membuat arsitektur. Disini nampak bahwa analisis tentang apa arsitektur trad Bali (ATB) itu adalah diskusi mengenai pengertian arsitektur (teori), namun bilamana seseorang bertanya bagaimana cara membangun ATB, ini artinya berbicara diwilayah membangun arsitektur yang tentunya berkaitan dengan praktek arsitektur. Ketika berpraktek arsitektur kita mau tak mau harus mengikuti aturan-aturan membangun di daerah dimana arsitektur itu akan dibangun.

TEORI ARSITEKTUR DAN KREATIVITAS
Berbicara tentang teori arsitektur tidak dapat dilepaskan dengan kreativitas. Kreativitas, menjadi salah satu syarat dalam proses disain, hanya saja kreativitas dimaknai sempit oleh beberapa arsitek. Tidak jarang pula terjadi, arsitek bahkan tidak menyadari apakah kreativitas yang ia miliki dan ia wujudkan dalam bentuk-bentuk yang aneh itu merupakan cerminan dari idealisme-nya sebagai arsitek, ataukah justru hanya bayangan buram dari egoisme-nya yang ingin diakui, dikenal dan dihargai. Idealisme hadir sebagai wujud pertanggungjawaban dari latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Sebaliknya, egoisme justru lebih merupakan gambaran ketidakterdidikan yang tersembunyi di balik gelar-gelar akademisnya. Salah satu contoh kearifan di masa lalu tampaknya dapat diangkat di sini untuk menunjukkan bahwa kreativitas yang dimiliki si arsitek tidak selalu harus diukur dengan seberapa terkenalnya mereka di masyarakat (Yulia Eka Putrie,2009). Apakah si arsitek yang membuat atap datar itu merupakan tuntutan aktivitas/proyek yang hendak didisain? Ataukah atap datar didisain lantaran ego si arsitek? Mungkin dapat dimaklumi bilamana dirunut dari proses seseorang menjadi disainer Pada saat awal-awal, seorang disainer termotivasi untuk mencari bentuk aneh-aneh buat disainnya. Begitu disainer melewati masa-masa awalnya, mulailah ia mencari jati dirinya melalui pemahaman dirinya akan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya (kayak pelayan masyarakat atau abdi negara, begitu pengandaiannya), pada saat ini ego dirinya menurun yang muncul justru bagaimana ia mampu memberikan apa yang dimaui oleh masyarakat dengan tetap menyertakan teori-teori arsitekturnya. Jadi teori arsitektur disini tetap memegang peranan penting, sebab kalau tidak demikian karya arsitekturnya akan menjadi suatu karya pasaran (tergantung permintaan pasar saja, tanpa idealisme). Ada satu cerita menarik tentang idealisme yang bertanggung jawab dari seorang arsitek, yang menolak sebuah proyek prestisius (dilihat dari nilai rupiahnya) dengan alasan tidak sesuai dengan norma-norma yang dianut si arsitek (mendisain proyek pusat perjudian). Ini nampaknya idealisme yang merujuk kepada kode etik arsitek berikut,
Standar Etika 1.2 –Pengetahuan Dan Keahlian: Seorang Arsitek senantiasa berupaya meningkatkan pengetahuan dan keahlian serta sikap profesionalnya sesuai dengan nilai-nilai moral maupun spiritual.
MEMBUAT ARSITEKTUR DAN PERDA
Aturan-aturan membangun di suatu daerah tertuang dalam perda atau peraturan daerah tentang membangun bangunan. Jika seseorang hendak membangun di suatu daerah, maka suka tidak suka mau tidak mau, disainer patut memperhatikan aspek peraturan ini. Dapat pula ini di artikan sebagai suatu sikap kepatuhan terhadap kode etik arsitek : Standar Etika 2.1 –TATA LAKU Seorang Arsitek wajib menjunjung tinggi tatanan hukum dan peraturan terkait dalam menjalankan kegiatan profesinya. Dengan acuan ini, maka kedudukan perda tentang bangunan patut dipatuhi oleh seorang disainer ketika merancang bangunannya. Maka, jika aturan-aturan yang tertuang melarang atap datar, ya, jadinya batal disainnya, demi atau atas nama perda. Tapi, jika (ini masih hipotesis saja) suatu proyek memang menuntut kehadiran sebuah disain atap datar – misalnya helipad, tentunya ini dapat diskusikan dengan pihak pemberi ijin.
Mungkin pembaca akan punya ide lain yang bisa jadi bertentangan dengan analisis di atas silahkan dikomentari. Yang pasti tidak dikenakan biaya, terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar