Arsitektur Dwijendra awalnya dikenal sebagai Sekolah Tinggi Arsitektur Tradisional Bali, pada tahun 1981. Selanjutnya tahun 1982 ditingkatkan menjadi Universitas Dwijendra dalam bentuk Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur.
Untuk ketiga kalinya pada tahun 2012 memperoleh status terakreditasi sesuai dengan Surat Keputusan Ban-PT no: 032/BAN-PT/Ak-XV/S1/X/2012 Tentang Penetapan Status Terakreditasi.


Minggu, 26 Juli 2009

KISRUH RTRWP BALI

Kemelut di Bali mengenai Ranperda RTRWP nampaknya masih berlangsung, dan kini ternyata semakin merumit saja. Ketika awal ranperda dibuat draftnya, oleh beberapa pihak mempermasalahkannya dari aspek kajian yang kurang terakomodasi. Masyarakat pun bereaksi mendorong adanya suatu perbaikan-perbaikan fundamental dalam draft RTRWP Bali ini. Orang nomor satu di Bali (Gubernur) pun pada akhirnya membuka keran bagi perbaikan kajian dimaksud. Akhirnya melalui suatu forum akbar yang dgagas oleh Universitas Udayana digelar suatu forum kajian terhadap perbaikan RTRWP Bali, tidak sedikit profesor-profesor yang ikut ngayah (membantu secara sukarela) terlibat dalam proses kajian ini. Setelah kajian dimaksud selesai kemudian diserahkan kepada orang nomor satu di Bali lanjut diadakan pembenahan oleh para legislator. Ternyata disinipun terjadi kekisruhan, panitia pokja revisi RTRWP mengundurkan diri dari tugasnya, selanjutnya ketika hendak disahkan pun kembali menuai permasalahan fatal yakni beberapa kabupaten di Bali berkumpul di Klungkung sepakat hendak menyarakan agar tidak sahkan
ARTIKEL WARUNG GLOBAL (Balipost, 27 Juli 2009)


Pertemuan lima bupati di rumah jabatan Bupati Klungkung, Jumat (24/7) lalu menghasilkan sebuah kesepakatan terkait dengan Ranperda RTRWP Bali yang sebentar lagi akan diketok palu. Tentu saja sikap dari lima bupati ini mengundang pertanyaan. Kenapa baru sekarang, menjelang akan disahkan, dari dulu ke mana saja? Ada pula pernyataan dukungan muncul dari beberapa kawan Global, bahwa seyogianya bupati harus dilibatkan dalam pembahasan RTRWP ini, sebab para bupatilah yang tahu bagaimana seluk-beluk di wilayahnya. Demikian opini masyarakat dalam acara Warung Global yang disiarkan Radio Global FM, Sabtu (25/7). Berikut rangkumannya.

Wayan Sudiara di Batuan sangat mendukung langkah para bupati ini, sebagai warga Gianyar ia hanya menginginkan agar ada pemerataan di seluruh Kabupaten Gianyar, semua dapat menikmati hasil perekonomian dari segala bidang.

Pande di Pandakgede menyatakan topik kali ini memang kedengarannya agak sangar, konotasinya akan menimbulkan kontroversial di masyarakat. Pulau Bali yang mungil ini mendesak untuk diproteksi. Oleh karena itu, wajar jika para bupati menyikapi hal ini. Kabupaten/kota adalah bagian integral dari sebuah provinsi, ia sepakat hal ini dilakukan semasih dalam konteks untuk menjaga Bali.

Lain halnya Ketut Kari di Songan. Ia meragukan statemen para bupati ini, apakah benar ini merupakan sebuah cerminan dari para bupati menyikapi Bali yang kian hari kian bopeng saja. Apakah ini bukan sedikit kepura-puraanlah atau sedikit mencari muka di depan masyarakat? Kita tidak tahu di balik semua itu?

Adnyana di Pedungan juga melihat konotasinya agak seram, jika itu benar ia tidak setuju, sebab akan merusak tatanan otonomi daerah yang akan menjadi kebablasan, investor nakal akan merasa gembira sebab kita dilihat tidak kompak. ''Mestinya kita bersatu membangun Bali, bukan membangun di Bali. Jika masing-masing punya sikap berbeda apa jadinya nanti,'' tanyanya.

Sedikit berbeda dengan Walek di Gelogor. Sedari awal dia pernah menyatakan bahwa untuk pembentukan Perda RTRWP harus mengakomodasi dari kabupaten, sebab para bupatilah yang tahu segala seluk-beluk wilayahnya. Kalau tidak dilibatkan apa yang akan terjadi nanti, ini harus melibatkan bupati seluruh Bali. Apa pun alasannya bupati punya kewenangan penuh atur kabupatennya.

Gede Biasa di Denpasar menyikapi hal ini dengan bahasa yang sederhana, jika RTRWP ini kelar, bisa diterima semua pihak, sehingga betul-betul menjadi pelindung Bali ke depan. Jika ada pendapat, usulan, masukan yang masih dikesampingkan maka belum pantas untuk disahkan, semua pihak harus duduk bersama dulu, sebab belum ada titik temu, coolling down dulu untuk mencapai sebuah kesepakatan nantinya dengan perda ini disahkan tidak ada yang dirugikan lagi.

Sumawa di Kintamani menilai ini sebuah bentuk kekhawatiran dari para bupati. Jadi wajar saja, namun perlu diingat kalau semua itu untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Bali kedepankan hati nurani, bukan menjadi penghancur alam Bali dan yang paling penting adalah kehancuran Bali segera dihentikan.

Meski tidak semua bupati yang hadir saat itu, Agung Adnyana di Sanur menyatakan yang terpenting adalah kesepahaman, sinergi, bersatu untuk amankan tanah Bali. RTRWP Bali adalah satu hal yang sangat strategis untuk amankan ajeg Bali. Namun sangat disayangkan jika para bupati tidak dilibatkan.

Menurut Prianus di Denpasar, sepatutnya harus mendengarkan suara para bupati, jika tidak ini akan menjadi bom waktu. Sebab, perda ini menyangkut kewilayahan.

Dewa Winaya di Tabanan juga sepakat dengan itu, harus ada kekompakan dulu di internal baru ranperda itu disahkan.

Edi di Denpasar menyatakan hal yang sama, seyogianya para bupati dilibatkan dalam pembahasan dari pembentukan sampai pengesahan. Meski terkesan terlambat, namun harus tetap memperjuangkan demi Bali.

Mang De di Penatih menyatakan barangkali banyak poin dalam perda tersebut yang dinilai tidak memberikan kontribusi bagi kabupaten, sementara banyak perda yang tidak berjalan dengan maksimal. Oleh karena itu, alangkah baiknya semua pihak yakni bupati, wali kota, pemprov duduk bersama membahas dulu agar tercipta suatu kekompakan. ''Kalau belum kompak, jangan disahkan dulu Perda RTRWP tersebut,'' pintanya.

Senada dengan itu, Marbun di Nusa Dua menambahkan jangan sampai mengabaikan aspirasi rakyat, selama ini pejabat di atas hanya sibuk ngurus perda saja. Apa mereka tidak melihat rakyat sudah makan atau belum? Mestinya peraturan yang dibuat oleh IB Mantra dulu saja master plan-nya sudah bagus jangan diutak-atik lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar