Arsitektur Dwijendra awalnya dikenal sebagai Sekolah Tinggi Arsitektur Tradisional Bali, pada tahun 1981. Selanjutnya tahun 1982 ditingkatkan menjadi Universitas Dwijendra dalam bentuk Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur.
Untuk ketiga kalinya pada tahun 2012 memperoleh status terakreditasi sesuai dengan Surat Keputusan Ban-PT no: 032/BAN-PT/Ak-XV/S1/X/2012 Tentang Penetapan Status Terakreditasi.


Kamis, 29 Oktober 2009

Bukit Gumang Ternyata Berfungsi Lindung


Amlapura (Bali Post) -

29 Oktober 2009 | BP

Alam di Karangasem betul-betul menjadi ''permainan'' pejabat di bumi lahar tersebut. Bayangkan saja, kawasan hutan yang diatur dalam perda berfungsi lindung bisa dibanguni vila. Bahkan, vila tersebut telah mengantongi izin yang dikeluarkan instansi terkait di Karangasem.

Contoh yang paling anyar adalah pembangunan Vila Candidasa di lereng barat Bukit Gumang, Karangasem. Vila berlantai dua itu ternyata telah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Padahal, Bukit Gumang termasuk lerengnya merupakan kawasan berfungsi lindung sesuai Perda RDTR No. 8 Tahun 2003 dan Perda RTRW No. 11 Tahun 2000.

Hal itu sesuai temuan tim Bappeda Karangasem yang terjun ke lokasi Vila Candidasa di lereng barat Bukit Gumang, Banjar Samuh, Bugbug, Karangasem. Tim dipimpin Kabid Penataan Ruang dan Prasarana Wilayah Ir. Ketut Sedana Merta, M.Si. Vila milik investor asal Belanda Hans Van Hamert itu sudah mengantongi IMB No. 90 tahun 2008 tertanggal 15 September 2008 atas nama pemohon I Wayan Gunarsa, warga Banjar Samuh. IMB ditandatangani Kadis PU Ir. I Wayan Arnawa. Saat itu, IMB masih dikeluarkan Dinas PU, belum ditangani oleh pihak Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T). ''Saya terkejut ketika salah seorang pekerja menyodorkan IMB yang sudah dilaminating,'' kata salah seorang anggota tim.

Ia mengaku terkejut karena setelah dicek di dalam dua perda itu, ternyata kawasan tersebut merupakan kawasan berfungsi lindung. Di dalam peta perencanaan ruang yang merupakan lampiran atau satu-kesatuan yang tak terpisahkan dengan Perda RDTR kawasan wisata Candidasa yang termasuk mewilayahi lereng Bukit Gumang. Dalam peta itu juga tertera bahwa Bukit Gumang merupakan kawasan berfungsi lindung. ''Tetapi kenapa investor itu bisa mengantongi izin, inilah pertanyaan besar kita?'' ujar anggota tim keheranan.

Tim juga mengatakan, di dalam IMB itu disebutkan lokasi itu lahan kering, bukan sebagai kawasan berfungsi lindung. Padahal yang dimaksudkan wilayah berfungsi lindung dalam dua perda itu tak semata hutan tetapi kawasan yang melindungi wilayah lain, baik sebagai penjaga bentang alam atau kawasan gunung atau bukit yang harus dilestarikan. Berfungsi lindung juga bisa berarti, kawasan yang tak boleh dialihfungsikan, apalagi menjadi tempat bangunan fisik seperti rumah atau hotel. Berfungsi lindung juga berfungi melindungi kawasan di bawahnya sebagai resapan air atau menjaga jangan sampai terjadi longsor.

Kepala Bappeda Karangasem I Wayan Artha Dipa, S.H., M.H. yang dihubungi per telpon di Jakarta juga mengaku terkejut dengan investor Vila Candidasa yang sudah mengantongi IMB. Dia mengaku tak tahu, bagaimana prosesnya bisa keluar IMB. Dia mengaku tak pernah memberikan rekomendasi, tak pernah dilibatkan, baik dimintai pendapat secara lisan maupun tertulis terkait ke luarnya IMB.

Staf Humas dan Protokol Setdakab Karangasem I Nyoman Suarjana kemarin juga turun ke lokasi vila itu karena mendapat tugas mengambil dokumentasi. Suarjana bertemu IW Gunarsa. Gunarsa mengatakan, vila itu dibangun di areal seluas 60 are dan merupakan tanah Desa Bugbug. (013)



Baca lengkapnya... lanjut.

Rabu, 07 Oktober 2009

Pasal yang Sudah Jadi Hambat Koreksi Publik

» Berita Kota
26 April 2009 | BP


Denpasar (Bali Post) -
Lemahnya kajian akademik yang mendasari Ranperda RTRWP Bali menjadi sorotan sejumlah akademisi dan aktivis lingkungan. Bahkan, ada yang mengusulkan, agar kajian akademik tidak ditenderkan. Akademisi dan para pakar di Bali siap ngayah untuk itu asalkan diajak bicara oleh Pemrov Bali.

Secara terbuka mereka menyampaikan masukannya langsung kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam acara masimakrama antara Gubernur Bali dengan masyarakat Bali di Wantilan DPRD Bali, Denpasar, Sabtu (25/4) kemarin. Gubernur berjanji mengakomodasi setiap masukan, namun tak sepakat kalau pembahasan mengenai Ranperda RTRWP Bali ini dihentikan karena terkendala waktu.

Dalam sesi tanya jawab, sejumlah penanya baik dari kalangan akademisi maupun aktivis lingkungan menyoroti masih lemahnya kajian akademik RTRWP Bali. I Made Suarnata dari Yayasan Wisnu menilai data yang disajikan dalam kajian akademis itu kurang lengkap karena tidak menyajikan tren data dari pelaksanaan tata ruang terdahulu, kondisi Bali saat ini dan data kecenderungan sampai 20 tahun ke depan.

Dia mengambil contoh, pengaruh pemanasan global terhadap Bali yang menurut para ahli diprediksi tahun 2050 nanti permukaan air laut bisa naik enam meter. Bagaimana tata ruang Bali mengantisipasi hal ini, khususnya mengenai daerah pesisir seperti Kuta, Sanur, dan Denpasar yang berpotensi tergenang. "Kondisi seperti ini belum tercermin dalam kajian akademis RTRWP Bali," ujar Suarnata.

Ketua Dewan Daerah Walhi Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanti, salah satu penanya dalam simakrama kemarin berharap kepada Gubenur Bali agar pembahasan RTRWP Bali sebaiknya melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya. 'Karena hulunya adalah kajian akademik, mestinya masyarakat tidak disuguhi pasal-pasal yang sudah jadi. Koreksi publik akhirnya sangat terbatas," ujar Widhiyanti.

Ia pun mendesak agar naskah draf Ranperda RTRWP Bali ditarik dulu dari DPRD. Setelah disempurnakan baru dilanjutkan pembahasannya.

Akurasi Data
Pada kesempatan itu, pengamat tata ruang Ir. Nyoman Gelebet juga menyampaikan sepuluh poin koreksi terkait draf RTRWP Bali yang kini tengan dibahas. Ia mencatat sejumlah "kejanggalan" dalam kajian akademis tersebut, khususnya mengenai akurasi data. Padahal secara akademis, data sangat menentukan dalam membuat analisis dan pengambilan kesimpulan.

Untuk menyebut satu contoh mengenai komposisi kawasan. Dalam tiga kali perubahan terdahulu (RTRWP No.6/1989, RTRWP No.4/1996 dan RTRWP No.3/2005) kawasan lindung mengalami penciutan dari 238.505 ha menjadi 189.862 ha dan terakhir 198.093 ha. Namun, dalam RTRWP 2009 yang kini tengah dibahas data kawasan lindung tetap 198.093. Demikian juga data mengenai kawasan budi daya, lahan pertanian yang dikonversi.

"Angka-angka ini memang suatu asumsi, namun perlu dipertanyakan, dalam rentang waktu tahun 2005 sampai sekarang, kok tidak ada perubahan di lapangan," tanya Gelebet. Dia juga mempertanyakan relevansi kajian akademis RTRWP Bali dengan kepentingan dan tantangan pembangunan Bali ke depan. Di mana konsep mengenai infrasturktur dinilainya makin kabur.

Ia mencontohkan rencana Amed dijadikan pelabuhan penyeberangan Bali-Lombok menggantikan Padangbai yang difungsikan menjadi sandaran kapal pesiar. Pelabuhan Amed membuat jarak tempuh Bali-Lombok menjadi lebih dekat, dan kemungkinan arus barang dari Jawa- Lombok memilih jalur utara melewati Buleleng. Relokasi infrastruktur ini sekaligus menjawab persoalan kesenjangan pembangunan Bali utara-timur dan selatan.

Menurut Gelebet, rencana strategis dan visioner ini sudah dipikirkan sejak tahun 70-an. Bahkan masuk dalam dokumen Carakas 1972. Sayangnya, sampai kini belum juga terwujud bahkan tidak masuk dalam RTRWP 2009 ini. Anehnya, jalan layang Serangan - Tanjung Benoa yang jelas-jelas tidak memungkinkan, justru dipaksakan masuk dalam RTRWP Bali yang bagi Gelebet, mubazir adanya.

Mengingat kajian akademik RTRWP sangat strategis, Nayaka Majelis Utama Desa Pakraman Dewa Gede Ngurah Swasta, S.H. mengusulkan agar tak ditenderkan. Akademisi dan para pakar di Bali, lanjut Swasta, siap ngayah untuk itu, asalkan Pemprov Bali mengundang dan mengajak mereka. Secara spontan, Ir. Nyoman Gelebet juga berjanji untuk memberikan kajian akademis tentang RTRWP secara cuma-cuma. "Tapi ini bukan kajian tandingan," ujar Gelebet.

Dewa Swasta juga menyoroti kewenangan Gubernur Bali menetapkan status pura sebagaimana pasal 61 sub a Ranperda RTRWP. Swasta menilai ini mengandung kerawanan, karena negara/daerah mencampuri masalah keagamaman. "Kalau gubernurnya Pak Pastika atau berikutnya si Made, si Nyoman, tak masalah. Kalau yang lain bagaimana," ujar pemerhati Agama Hindu ini.

Ia mengusulkan pasal itu diganti. Status pura ditentukan oleh PHDI bersama Majelis Desa Pakraman atas persetujuan Gubernur Bali. Gubernur Made Mangku Pastika menyambut baik masukan tersebut dan berjanji mengakomodasi dalam Ranperda RTRWP Bali. (056)


Baca lengkapnya... lanjut.