Arsitektur Dwijendra awalnya dikenal sebagai Sekolah Tinggi Arsitektur Tradisional Bali, pada tahun 1981. Selanjutnya tahun 1982 ditingkatkan menjadi Universitas Dwijendra dalam bentuk Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur.
Untuk ketiga kalinya pada tahun 2012 memperoleh status terakreditasi sesuai dengan Surat Keputusan Ban-PT no: 032/BAN-PT/Ak-XV/S1/X/2012 Tentang Penetapan Status Terakreditasi.


Minggu, 26 Juli 2009

MURNI DAN TIDAK MURNI

Diskusi ikatan arsitek indonesia (iai) membahas al: arsitek yang murni & tak murni, persaingan pasaran menyebabkan profesi arsitek menggelisahkan. arsitek asing & mahasiswa arsitektur dapat dimanfaatkan.
SOAL murni dan tidak murni rupanja tidak hanja pada benda-benda seperti emas atau madu sadja, tapi djuga dikalangan arsitek. Djika soal ini tidak diketahui umum, setidak-tidaknja diketahui dan dirasakan dikalangan anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) jang mengadakan diskusi dua malam berturut-turut di Tugu awal Maret jang lalu. Apakah arsitek jang murni dan apakah jang tidak murni? Jang murni konon adalah, seperti dikatakan Ir. Tjiputra, alumni ITB jang sekarang memimpin PT Pembangunan Jaya, “jang menghendaki pemisahan tegas antara tugas arsitek dan tugas pelaksana”. Sedang jang dianggap tidak murni, jaitu mereka jang menganggap bahwa arsitek dan pelaksana sesungguhnja berada dalam satu proses.
Silaban. Timbulnja perbedaan pendirian itu rupanja bukan baru sekarang sadja. Ir.W.P. Tjiong, anggota Dewan Perantjang DCI jang turut dalam diskusi mentjeritakan kepada reporter Farchan Bulkin, bahwa sedjak 1954, jaitu ketika terdjadinja pengusiran orang-orang Belanda — termasuk arsitek-arsiteknja — pekerdjaan arsitek dipegang oleh tenaga-tenaga tamatan KWS.
Keadaan demikian jang ditemui oleh mahasiswa-mahasiswa didikan Van Doorman, Ketua Djurusan Arsitektur ITB, ketika menjelesaikan kuliah ditahun 1958. Tentu sadja tidak semua tenaga-tenaga lokal itu tidak bisa mengembangkan diri. Arsitek Silaban misalnja, adalah salah satu tjontoh diantara jang dapat madju dalam praktek. Meskipun begitu, setjara keseluruhan, keadaannja tidak memuaskan bagi beberapa orang arsitek-arsitek muda jang baru menjelesaikan pendidikan itu. Suhartono Susilo pada tahun 1960 achirnja mendirikan Ikatan Arsitek Indonesia. Untuk apa? Meskipun tidak dikatakan, maksudnja djelas untuk wadah seleksi dan sekalian membedakan antara arsitek jang betul-betul mendapat pendidikan formil dengan mereka jang hanja beladjar dari praktek.

Buku Pintar. Akan tetapi tidak semua arsitek Indonesia waktu itu setudju dengan Suhartono. Dan jang tidak setudju itu antaranja Tjiputra, jang setelah berdirinja IAI, pindah ke Djakarta dan kemudian mendapat kepertjajaan dari Gubernur Soemarno membuat design dan sekaligus djuga memimpin pelaksanaan pembangunan projek Pasar Senen. Dan dalam diskusi, orang jang rupanja menjadi sorotan rekan-rekannja itu mengambil kesempatan menjelaskan posisinja dengan mengutip buku pintar bernama ensiklopedi.
Sjahdan menurut buku pintar itu arsitek bukan hanja melakukan design akan tetapi djuga builder, dan lebih djauh djuga lagi master builder. Dalam perkembangan teknologi sekarang, rupanja pengertian itu mendjadi lebih penting lagi. Sebabnja karena ketjenderungan pada pembangunan-pembangunan besar dalam bentuk real-estate dan apa jang disebut turn-key project. Semua itu menurut Tjiputra, membuat pekerdjaan design hanja sebagian ketjil sadja dalam suatu proses pembangunan. Dan bukti-bukti ditundjukkan pada kontraktor-kontraktor raksasa internasional dengan omzet sampai miljaran dolar — seperti kontraktor Djepang misalnja. Meskipun begitu sistim penjatuan pekerdjaan perentjanaan dan pelaksanaan bukan tidak ada bahajanja jaitu terdjadinja ketjurangan-ketjurangan. Tapi soal ketjurangan adalah soal ada tidaknja dedikasi. Dan dengan bersemangat Tjiputra berkata: “Kita ini bekerdja untuk memadjukan negara. Untuk meningkatkan GNP, bukan?”
Djual Obat. Tentu sadja tidak ada peserta diskusi jang menjahut “bukan” pula. Bagi Suhartono Susilo, Ketua IAI jang djuga adalah Ketua Djurusan Arsitektur Universitas Parahyangan disamping Direktur PT Budaja Bandung di samping lagi Anggota Dewan Teknik Pembangunan, jang djelas sekarang ini tidak ada kedjelasan antara profesi arsitek jang berpendidikan formil dan jang tidak. “Jang perlu sekarang ini adalah adanja pengarahan dan penertiban”, katanja kepada TEMPO. “Bagi saja arsitek itu harus ada standard dan independen. Tidak hanja melajani the haves sadja”. Dan lebih djauh ia melihat “mereka jang terdjun kebidang pelaksana kebanjakan hanja tjari untung sadja”.
Dan bahwa profesi arsitek di Indonesia rupanja sampai sekarang masih kabur djuga ditundjang oleh peserta jang lain. Winant Rooskandr, peserta dari Badan Pengembangan Pendidikan di Bandung berpendapat sebabnja “karena profesi arsitek kita masih dalam perkembangan”. Berbeda dengan diluar negeri dimana profesi arsitek sudah djelas dan sudah punja tradisi. “Sedang dikita jang ada hanja profesional djual obat”, katanja.
Persaingan. Nampaknja soal membuat djelas profesi arsitek ini tjukup menggelisahkan. Apa sebab? Kadji punja kadji ternjata soalnja adalah soal persaingan dengan arsitek asing jang sekarang banjak didatangkan di Indonesia, akan tetapi jang dirasakan lebih pahit saingan dari “arsitek-arsitek sementara” jaitu mahasiswa-mahasiswa arsitektur jang bekerdja sambilan. Persaingan untuk prestasi tentu sadja tidak usah dipandang buruk. Bahkan seperti dikatakan Kartomo “sudah saatnja kita membuka persaingan internasional dinegeri kita”. Tapi soal saingan dari mahasiswa jang bekerdja sambilan memang dirasakan mengantjam betul misalnja oleh Hans Awal, seorang pengusaha Biro Arsitek di Djakarta, atau Hidajat Natakusumah, dari suatu biro-arsitek swasta jang djuga merangkap djadi anggota DPRD Djawa Barat.
Sampai disini soalnja djelas, apa jang diperlukan para arsitek Indonesia itu, jaitu proteksi. Dan untuk memproteksi diri dari inisiatif jang akan ditempuh para arsitek, melalui keputusan diskusi jang kabarnja mau dibukukan, boleh dikatakan pintar djuga. Pertama membentuk organisasi sardjana arsitek dan difihak lain merobah sistim pendidikan arsitek.
Tentang wadah organisasi sardjana rupanja sudah dirintis oleh Piek Muljadi dari Djakarta dan forum diskusi achirnja meresmikan organisasi baru Persatuan Sardjana Arsitek Indonesia itu. Akan tetapi disamping PSAL, oleh Rooskandar dkk djuga diusulkan suatu organisasi alumni jang kelak dapat dipergunakan sebagai forum konsultasi.
Adapun perombakan sistim pendidikan rupanja akan disesuaikan dengan jang dibutuhkan oleh perkembangan sekarang. “Perlu diperhatikan didalam mentjari pemetjahan faktor keadaan pendidikan sebelum universitair, kurikulum dan tenaga pendidikannja”, tulis rumusan hasil diskusi jang disusun oleh 7 diantara 35 orang peserta. Dan 7 diantara 35 peserta itu agaknja dapat dianggap sebagai usaha netralisasi perbedaan pendirian murni dan tidak murni, oleh karena disana disamping terdapat Tjiputra jang dianggap arsitek tidak murni, djuga terdapat Suhartono Susilo jang dipandang mewakili arsitek murni.
Sumber : Majalah Tempo, Edisi. 07/I/17 - 23 April 1971
________________________________________

Artikel ini dicetak dari Silaban Brotherhood: http://www.silaban.net
Diposting oleh Charly Silaban pada tanggal 17 April 1971 || Kategori Seputar Silaban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar