Arsitektur Dwijendra awalnya dikenal sebagai Sekolah Tinggi Arsitektur Tradisional Bali, pada tahun 1981. Selanjutnya tahun 1982 ditingkatkan menjadi Universitas Dwijendra dalam bentuk Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur.
Untuk ketiga kalinya pada tahun 2012 memperoleh status terakreditasi sesuai dengan Surat Keputusan Ban-PT no: 032/BAN-PT/Ak-XV/S1/X/2012 Tentang Penetapan Status Terakreditasi.


Jumat, 11 September 2009

PELANGGARAN BHISAMA

Amlapura - Pelanggaran terhadap bhisama terus saja terjadi. Hal ini mencerminkan tidak adanya penghormatan terhadap para sulinggih yang telah menggodok bhisama tersebut. Demikian pula tidak ada penghormatan terhadap lembaga tinggi umat Hindu, PHDI, yang mengeluarkan bhisama tersebut. Oleh karena itu, agar kasus pelanggaran bhisama tidak terus-terusan terjadi, maka bhisama harus diperdakan sehingga mempunyai kekuatan legal formal. Demikian terungkap dalam diskusi yang diadakan Forum Ajeg Bali, di Ulun Kulkul, Besakih, pada malam Siwaratri (Sabtu, 24/1).

Diskusi yang dihadiri sejumlah tokoh dan lembaga yang concern dalam penyelamatan Bali ini, membahas tentang adanya rencana investor mengeksploitasi Danau Buyan. Diskusi ini juga menghadirkan dua narasumber yakni Begawan Dwija Sandi dan Pemangku Pura Goa Raja I Gusti Mangku Kabayan Manik Arjawa.

Begawan Dwija menyesalkan bhisama yang sebelumnya digodok para sulinggih seperti macan ompong. Sebab, sama sekali tidak menjadi acuan para pejabat di Bali yang notabene sebagian besar umat Hindu. Terbukti telah banyaknya bangunan yang semestinya tidak boleh ada di kawasan suci telah berdiri di kawasan tersebut. Jadi apa yang diucapkan bahwa menghormati para sulinggih, sama sekali tidak benar. 'Terbukti produk para sulinggih tidak dijadikan acuan dalam mengambil keputusan apabila investor berkeinginan membangun di kawasan suci,' jelasnya datar.

Oleh karena itu, ia memberi solusi agar Bhisama PHDI itu diperdakan, sehingga mempunyai kekuatan legal formal. Selain itu, akan menjadikan keharusan bagi eksekutif untuk melaksanakannya serta akan terkena sanksi bila dilanggar. Demikian pula DPRD akan mempunyai kewajiban untuk mengawasi dan mengontrol terhadap pelanggaran bhisama yang telah menjadi perda. Terkait pembangunan di Danau Buyan, Begawan Dwija Sandi dengan tegas menolaknya, karena hal itu membahayakan alam Bali.

Hal senada juga diungkapkan Gusti Mangku Kubayan Manik Arjawa. Bahkan, ia menyatakan sebuah purana yang menyebutkan barang siapa yang berani mengusak-asik laut, gunung dan danau akan terjadi sesuatu pada Bali. 'Apakah hal itu dikehendaki terjadi pada Bali,' tanyanya sembari menyatakan semua itu tergantung para pejabat karena merekalah yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan izin untuk legalnya sebuah investasi di kawasan suci.

Sementara itu, Mangku Sunartha menyatakan kericuhan investasi yang terjadi di Bali sekarang ini dikarenakan telah terjadi degradasi moral. Tidak saja terjadi di masyarakat juga para pejabatnya. Mereka hanya berorientasi uang. Pendekatan yang digunakan dalam meloloskan investasi hanya berdasar kepentingan ekonomi. Penyelamatan lingkungan, penyelamatan Bali dan penyelamatan budaya sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Kalau toh ada, hal itu hanya ada dalam wacana, bukan dalam tataran implementasi.

Tak kalah pedasnya pernyataan Wayan Budi Arsana dari Sekaa Demen Bali. Ia menuding investor yang datang ke Bali hanya manis di bibir. Ia menyebut contoh tentang rekrutmen tenaga kerja. Awalnya, memang sebagian besar tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga lokal. Namun pelan tapi pasti, mereka akan digusur dengan tenaga dari luar dengan alasan tenaga lokal kurang profesional. Yang disisakan untuk tenaga lokal hanya satpam dan tukang kebun.

Lalu siapa yang mengontrol ini, bahwasanya janji investor mempekerjakan 60 persen tenaga lokal sudah tak ditepati. Ini juga mesti dibuat aturan tegas, bahwa investor harus mempekerjakan 60 persen tenaga lokal. Kalau mereka menganggap tenaga lokal kurang profesional, adalah tanggung jawabnya untuk melatih. 'Ini sebuah tanggung jawab sosial. Bukan malah melempar dan mengganti dengan tenaga luar,' terang Arsana yang mantan karyawan hotel.

Sementara itu, pengamat lingkungan Dr. Luh Kartini menyatakan, apa pun alasannya, pemanfaatan Danau Buyan untuk kepentingan investasi harus ditolak. Hal ini juga sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan forum diskusi yang dimediatori Prof. Wijaya. Ia mengatakan Forum Ajeg Bali sepakat menolak segala bentuk investasi di Danau Buyan. Selain melanggar kawasan suci, juga melanggar perda dan peraturan perundang-undangan pemanfaatan air. (019*BP)
Ditulis oleh: goesdun, 27-01-2009
Sumber: klik disini http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-40830-p-2.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar