Arsitektur Dwijendra awalnya dikenal sebagai Sekolah Tinggi Arsitektur Tradisional Bali, pada tahun 1981. Selanjutnya tahun 1982 ditingkatkan menjadi Universitas Dwijendra dalam bentuk Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur.
Untuk ketiga kalinya pada tahun 2012 memperoleh status terakreditasi sesuai dengan Surat Keputusan Ban-PT no: 032/BAN-PT/Ak-XV/S1/X/2012 Tentang Penetapan Status Terakreditasi.


Minggu, 20 September 2009

DIBUTUHKAN SIKAP ARIF DAN NEGARAWAN DALAM PENATAAN RUANG


Sumber : admintaru_170909

DJPR-Jakarta. “Perencanaan tata ruang menjadi penting karena pada tahapan ini disusun kesepakatan lintas wilayah, sektor maupun lintas pemerintah, swasta dan masyarakat dalam mewujudkan visi tata ruang,” ungkap Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Bali I Made Sugiarsa membuka kegiatan Advokasi Penyelenggaraan Penataan Ruang di Bali, pekan lalu.

Kepala Pusat Lingkungan Geologi Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Danaryanto mengatakan, penataan ruang menjadi kunci keharmonisan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh beragam sektor. “Dibutuhkan sikap arif dan negarawan dari berbagai sektor, untuk dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang harmonis dan solutif dari berbagai konflik pemanfaatan ruang yang muncul,” lanjutnya.

“Sikap negarawan perlu untuk mendorong tercapainya `win-win solution` dalam berbagai konflik guna lahan yang muncul”, jelas Erry Saptaria Achyar selaku Kasubdit Perkotaan dan Metropolitan Wilayah III Ditjen Penataan Ruang.

“Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang perlu dilakukan dengan kearifan bersama”, jelas IF. Poernomosidhi pada kesempatan yang sama sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut.


“Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengembangan wilayah dan kota sehingga ikut paham visi penataan ruang yang akan diterapkan”, lanjutnya. Sementara Andi Oetomo, pakar penataan ruang dari Institut Teknologi Bandung menyatakan, “penyelesaian masalah bersama perlu dilakukan melalui BKPRN atau BKPRD sehingga kemanfaatannya dapat dinikmati semua pihak”. Selanjutnya Oetomo pun menjelaskan,”diperlukan peta batas wilayah yang terukur dengan standar nasional sehingga dapat menjadi dasar pemecaham masalah bersama”.

“Kunci pemecahan konflik membutuhkan pemahaman terhadap akar persoalan, menggunakan logika yang baik, dan melandasi dengan keikhlasan”, tutup Poernomosidhi. “Penyelesaian masalah harus mengedepankan pemahaman lintas sektor, sehingga tidak ada sikap mau menang sendiri”, tegas Danaryanto. Keterangan tersebut menegaskan bahwa sikap arif dan negarawan yang harus dikedepankan dalam menyelesaikan masalah dalam penyelenggaraan penataan ruang.
(wil3)


CUAP-CUAP DARI ADMIN
Persoalan yang muncul setelah menyimak artikel di atas adalah: Sudahkah masyarakat dilibatkan dalam proses penyusunan Tata Ruang? atau sudahkan masyarakat terlibat dalam proses pengembangan wilayah dan kotanya?
Pertanyaan itu muncul karena adanya niat luhur, bahwa dengan adanya keterlibatan masyarakat menyusun pengembangan wilayahnya akan berdampak pada tumbuhnya pemahaman akan visi dan misi perencanaan tata ruang. Bahwa partisipasi masyarakat akan meningkatkan peran sertanya dalam menjaga dan mentaati aturan dalam pengembangan selanjutnya (dalam proses operasionalnya). Kiranya ini yang menjadi pokok pikiran kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar