Arsitektur Dwijendra awalnya dikenal sebagai Sekolah Tinggi Arsitektur Tradisional Bali, pada tahun 1981. Selanjutnya tahun 1982 ditingkatkan menjadi Universitas Dwijendra dalam bentuk Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur.
Untuk ketiga kalinya pada tahun 2012 memperoleh status terakreditasi sesuai dengan Surat Keputusan Ban-PT no: 032/BAN-PT/Ak-XV/S1/X/2012 Tentang Penetapan Status Terakreditasi.


Rabu, 07 Oktober 2009

Pasal yang Sudah Jadi Hambat Koreksi Publik

» Berita Kota
26 April 2009 | BP


Denpasar (Bali Post) -
Lemahnya kajian akademik yang mendasari Ranperda RTRWP Bali menjadi sorotan sejumlah akademisi dan aktivis lingkungan. Bahkan, ada yang mengusulkan, agar kajian akademik tidak ditenderkan. Akademisi dan para pakar di Bali siap ngayah untuk itu asalkan diajak bicara oleh Pemrov Bali.

Secara terbuka mereka menyampaikan masukannya langsung kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam acara masimakrama antara Gubernur Bali dengan masyarakat Bali di Wantilan DPRD Bali, Denpasar, Sabtu (25/4) kemarin. Gubernur berjanji mengakomodasi setiap masukan, namun tak sepakat kalau pembahasan mengenai Ranperda RTRWP Bali ini dihentikan karena terkendala waktu.

Dalam sesi tanya jawab, sejumlah penanya baik dari kalangan akademisi maupun aktivis lingkungan menyoroti masih lemahnya kajian akademik RTRWP Bali. I Made Suarnata dari Yayasan Wisnu menilai data yang disajikan dalam kajian akademis itu kurang lengkap karena tidak menyajikan tren data dari pelaksanaan tata ruang terdahulu, kondisi Bali saat ini dan data kecenderungan sampai 20 tahun ke depan.

Dia mengambil contoh, pengaruh pemanasan global terhadap Bali yang menurut para ahli diprediksi tahun 2050 nanti permukaan air laut bisa naik enam meter. Bagaimana tata ruang Bali mengantisipasi hal ini, khususnya mengenai daerah pesisir seperti Kuta, Sanur, dan Denpasar yang berpotensi tergenang. "Kondisi seperti ini belum tercermin dalam kajian akademis RTRWP Bali," ujar Suarnata.

Ketua Dewan Daerah Walhi Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanti, salah satu penanya dalam simakrama kemarin berharap kepada Gubenur Bali agar pembahasan RTRWP Bali sebaiknya melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya. 'Karena hulunya adalah kajian akademik, mestinya masyarakat tidak disuguhi pasal-pasal yang sudah jadi. Koreksi publik akhirnya sangat terbatas," ujar Widhiyanti.

Ia pun mendesak agar naskah draf Ranperda RTRWP Bali ditarik dulu dari DPRD. Setelah disempurnakan baru dilanjutkan pembahasannya.

Akurasi Data
Pada kesempatan itu, pengamat tata ruang Ir. Nyoman Gelebet juga menyampaikan sepuluh poin koreksi terkait draf RTRWP Bali yang kini tengan dibahas. Ia mencatat sejumlah "kejanggalan" dalam kajian akademis tersebut, khususnya mengenai akurasi data. Padahal secara akademis, data sangat menentukan dalam membuat analisis dan pengambilan kesimpulan.

Untuk menyebut satu contoh mengenai komposisi kawasan. Dalam tiga kali perubahan terdahulu (RTRWP No.6/1989, RTRWP No.4/1996 dan RTRWP No.3/2005) kawasan lindung mengalami penciutan dari 238.505 ha menjadi 189.862 ha dan terakhir 198.093 ha. Namun, dalam RTRWP 2009 yang kini tengah dibahas data kawasan lindung tetap 198.093. Demikian juga data mengenai kawasan budi daya, lahan pertanian yang dikonversi.

"Angka-angka ini memang suatu asumsi, namun perlu dipertanyakan, dalam rentang waktu tahun 2005 sampai sekarang, kok tidak ada perubahan di lapangan," tanya Gelebet. Dia juga mempertanyakan relevansi kajian akademis RTRWP Bali dengan kepentingan dan tantangan pembangunan Bali ke depan. Di mana konsep mengenai infrasturktur dinilainya makin kabur.

Ia mencontohkan rencana Amed dijadikan pelabuhan penyeberangan Bali-Lombok menggantikan Padangbai yang difungsikan menjadi sandaran kapal pesiar. Pelabuhan Amed membuat jarak tempuh Bali-Lombok menjadi lebih dekat, dan kemungkinan arus barang dari Jawa- Lombok memilih jalur utara melewati Buleleng. Relokasi infrastruktur ini sekaligus menjawab persoalan kesenjangan pembangunan Bali utara-timur dan selatan.

Menurut Gelebet, rencana strategis dan visioner ini sudah dipikirkan sejak tahun 70-an. Bahkan masuk dalam dokumen Carakas 1972. Sayangnya, sampai kini belum juga terwujud bahkan tidak masuk dalam RTRWP 2009 ini. Anehnya, jalan layang Serangan - Tanjung Benoa yang jelas-jelas tidak memungkinkan, justru dipaksakan masuk dalam RTRWP Bali yang bagi Gelebet, mubazir adanya.

Mengingat kajian akademik RTRWP sangat strategis, Nayaka Majelis Utama Desa Pakraman Dewa Gede Ngurah Swasta, S.H. mengusulkan agar tak ditenderkan. Akademisi dan para pakar di Bali, lanjut Swasta, siap ngayah untuk itu, asalkan Pemprov Bali mengundang dan mengajak mereka. Secara spontan, Ir. Nyoman Gelebet juga berjanji untuk memberikan kajian akademis tentang RTRWP secara cuma-cuma. "Tapi ini bukan kajian tandingan," ujar Gelebet.

Dewa Swasta juga menyoroti kewenangan Gubernur Bali menetapkan status pura sebagaimana pasal 61 sub a Ranperda RTRWP. Swasta menilai ini mengandung kerawanan, karena negara/daerah mencampuri masalah keagamaman. "Kalau gubernurnya Pak Pastika atau berikutnya si Made, si Nyoman, tak masalah. Kalau yang lain bagaimana," ujar pemerhati Agama Hindu ini.

Ia mengusulkan pasal itu diganti. Status pura ditentukan oleh PHDI bersama Majelis Desa Pakraman atas persetujuan Gubernur Bali. Gubernur Made Mangku Pastika menyambut baik masukan tersebut dan berjanji mengakomodasi dalam Ranperda RTRWP Bali. (056)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar